Minggu, 20 Oktober 2019
SEJARAH PERFILMAN SEBELUM ERA DIGITAL
SEJARAH PERKKEMBANGAN FILM
Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai ketika digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa itu digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20, hingga industri film hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat ini merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur cerita yang mulai populer. Pada tahun1970-an, film sudah bisa direkam dalam jumlah massal dengan menggunakan videotape yang kemudian dijual. Tahun 1980-an ditemukan teknologi laser disc, lalu vcd dan kemudian menyusul teknologi dvd. Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat dengan keserarian masyarakat modern.
Sebelum ditemukannya kamera digital, para filmmaker menggunakan kamera seluloid sebagai medium untuk memvisualisasikan skenarionya. Kamera film (begitu tipe kamera ini banyak disebut) merupakan kamera yang menggunakan bahan dasar (pita) seluloid berukuran 8mm, 16mm, 35mm, dan 70mm yang disesuaikan dengan tipe kamera itu sendiri. Kebanyakan filmmaker menggunakan kamera 35mm karena ukuran tersebut menghasilkan gambar yang pas untuk konsumsi layar lebar. Sayangnya, kamera film dibanderol mahal, harga sewanya pun sangat tinggi. Hal tersebut kerap membatasi para filmmaker dengan bujet yang minim untuk memproduksi film.
Kemunculan kamera digital di akhir tahun 1980-an yang digagas oleh Sony lewat perlengkapan kamera Sony HDVS-nya (awalnya ditujukan untuk keperluan broadcast televisi) membuat filmmaker mempunyai pilihan untuk mengambil gambar dengan biaya yang lebih murah. Meski begitu, para pembuat film lebih banyak setia dengan kamera film karena gambar yang dihasilkan jauh lebih baik. Seiring perkembangan zaman, teknologi digital semakin maju dan kini kualitas kamera digital bahkan dapat menyamai kamera film seluloid. Hal ini berimbas dengan banyaknya filmmaker dunia yang memilih untuk menggunakan kamera digital dibandingkan seluloid, tak terkecuali Hollywood.
Penggunaan kamera digital dalam industri film Hollywood dipelopori oleh George Lucas yang mengembangkan kamera Sony HDW-F900 yang digunakan pada Once Upon Time in Mexico (2001). Film garapan Robert Rodriguez tersebut dikenal sebagai film pertama yang seluruh gambarnya diambil dengan kamera digital berformat 24 fps. Satu tahun kemudian, Lucas menggunakan kamera yang sama untuk filmnya, Star Wars Episode II: Attack of the Clones. Tahun 2009 bisa dikatakan sebagai momen penting bagi perkembangan kamera digital di industri film dunia. Pada tahun tersebut, Slumdog Millionaire menjadi film pertama berformat digital yang mendapatkan penghargaan Best Cinematography di ajang bergengsi Academy Awards, disusul oleh dirilisnya Avatar yang hingga saat ini menjadi film berpendapatan tertinggi sepanjang sejarah.
Kesuksesan film-film digital tersebut berimbas para sistem sinema di dunia. Banyak bioskop yang akhirnya menggunakan proyektor digital dan meninggalkan proyektor film konvensional. Proyektor digital yang dikenal dengan nama DLP (Digital Light Processing) sanggup menayangkan film digital dengan resolusi 2K (2048×1080 atau 2,2 megapixels) dan 4K (4096×21960 atau 8.8 megapixels). Sistem pendistribusian film pun tidak lagi memakai reel seluloid, namun menggunakan file digital DCP (Digital Cinema Package) berbentuk hard-drive yang nantinya dikopi ke dalam server internal bioskop yang akan menayangkan filmnya.
Tahun 2002, major studios Hollywood membentuk suatu organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar atau format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai dengan DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.
Berkembangnya teknologi digital akhirnya membuat produksi seluloid berkurang drastis. Banyak perusahaan yang akhirnya gulung tikar akibat perkembangan pesat tersebut. Salah satu yang paling terkenal adalah Kodak (meski saat ini sudah dinyatakan tidak bangkrut). Mau tidak mau, para filmmaker dan penonton harus siap menerima fakta bahwa saat ini era digital telah memegang peranan penting dalam industri film dunia.
SEJARAH PERKEMBANGAN FILM DI INDONESIA
Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.
Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
Pada tahun 1926,Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Kehidupan perfilman Indonesia pada tahun 60-an mengalami kelesuan. Kondisi politik dan ekonomi saat itu sangatlah tidak mendukung produktifitas para pembuat film. Pada periode tersebut tidak hanya film saja yang kehilangan gigi, namun hampir semua bidang seni mengalami kesuraman. Dikarenakan isu-isu politik yang sempat mencekam sehingga kreatifitas paraseniman tidak dapat diaktualisasikan dengan bebas.
Keadaan berubah pada tahun 70-an, angin segar berhembus pada para pembuat film. Pada periode ini para seniman bebas berekspresi, khususnya bagi mereka yang bersentuhan dengan bidang perfilman.
Dengan dikeluarkannnya Kep. No. 71 Th. 1971 oleh Menteri Penerangan Budiharjo pada masa itu, maka produktivitas film meningkat pesat. Kebijakan tersebut memperbolehkan para produser untuk meminjam uang sejumlah setengah dari biaya produksi film. Uang tersebut merupakan uang pemerintah yangdidapatkan dari pungutan dari film-film impor. Film-film impor yang masuk Indonesia pada waktu itu diharuskan menyerahkan sumbangan wajib demi perkembangan perfilman nasional. Akibat adanya kebijakan tersebut,disamping meningkatnya produksi perfilman , juga terdapat dampak negatif pada proses produksi perfilman, seperti kru film yang memiliki tugas yang overlapping,ketika satu orang mengerjakan beberapa tugas yang seharusnyadikerjakan oleh sebuah tim. Namun bagaimanapun juga, film “Bernafas dalam Lumpur” produksi Sarinande arahan sutradara Turino Junaidi sukses di pasaran dan menjadi tonggak bangkitnya perfilman Indonesia.
Beberapa nama sutradara potensial yang berusaha membangun kembali citra filmIndonesia pada periode itu, yaitu Wim Umboh, Asrul Sani, Teguh Karya,Syumandjaya, Nico Pelamonia, Ami Priyono, Wahyu Sihombing Arifin C. Noer, dan Nya Abbas Akub.
Di tahun 1980-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun 1970-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun 1980-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.
Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun 1980-an, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela.Meski dalam kondisi “sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional.
Pertengahan 1990-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor. Selain itu tema yang selalu menjadi Bumerang bagi perfilman tanah air adalah tema Horror sex, di era 1990-an judul-judul film Indonesia amat sangat vulgar contoh Misteri Janda Kembang, Noktah merah perkawinan, Gairah Terlarang, Meski sejumlah aktor Hollywood kelas B seperti Frank Zagarino, Chintya Rothrock, David Bradley turut meriahkan dunia film tanah air, kondisi penonton tetap tak berubah, Mimin masih ingat judul film warkop terakhir di layar lebar yaitu "Saya duluan dong" setelah itu film tanah air jadi mati suri... Anehnya saat terpuruknya perfilman tanah air banyak yang menyalahkan pihak Amerika (Hollywood) dan Bioskop 21. Namun di sisi lain, di era 1990-an banyak komunitas film-film independen. Orang-orang inilah yang akan membangkitkan perfilman tanah air di awal 2000-an
Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.
Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.
Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international
Banyaknya genre film Indonesia terbaru semakin memudahkan penonton untuk memilih mana film yang akan ditonton. Perkembangan film Indonesia terbaru juga makin bertambah kuantitasnya. Seharusnya, kini para sineas tak hanya boleh memikirkan kuantitas saja, namun juga kualitas. Membuat film-film yang mendidik tentu akan menjadi nilai tambah bagi para penonton mengingat sebagian besar diantara kita meniru apa yang sering ditonton.
Dunia perfilman Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini mulai bangkit kembali dengan ditandai hadirnya film-film baru. Sebelumnya, film-film Indonesia tidak mendapatkan tempat di hati penontonnya, tergilas dengan film-film Hollywood yang masuk ke Indonesia.
Perfilman Indonesia kini makin gencar mencari tempat di hati penonton negerinya sendiri. Hal ini terbukti dengan meningkatnya produksi film, yaitu meningkatnya frekuensi kemunculan film-film baru. Sekarang tidak jarang di satu studio film kita menyaksikan dua atau tiga film Indonesia diputar dalam waktu yang bersamaan. Pemandangan yang memberikan setitik harapan bagi perkembangan sinema Indonesia sebagai bagian dari ekspresi budaya bangsa.
Selain itu, film-film Indonesia juga mulai mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia dibandingkan film luar negeri. Saat ini hampir 75% film yang yang ditayangkandi sebuah bioskop adalah film Indonesia. Kemudian, minat penonton Indonesia terhadap terhadap film buatan negerinya sendiri juga mengalami peningkatan. Ditambah lagi menjamurnya sineas-sineas Indonesia yang berbakat dan potensial dalam mengemas sebuah cerita ke dalam film sehingga mampu membangkitkan gairah penonton Indonesia untuk menonton film buatan negerinya sendiri.
Pada awalnya mereka, sineas-sineas muda, membuat film-film pendek yang ditayangkan ditelevisi dengan durasi dua jam dikurangi durasi tayangan iklan yang kemudiandisebut sebagai Film Televisi (FTV). Film-film yang mereka buat cukupmengagetkan karena tema yang mereka angka walaupun hanya tema-tema percintaan, entah cinta remaja atau cinta keluarga, dikemas dengan apik.Teknik-teknik pengambilan kamera, penyusunan dialog, pemilihan setting ,dan pemunculan karakter-karekter bisa dibilang sangat baik. Kemudian, perkembangan ini sampai sekarang sudah mulai merambah ke jenjang yanglebih tinggi, yaitu film bioskop.
Tahun 2012 menjadi tahun yang istimewa untuk perfilman Indonesia. Pasalnya untuk pertama kalinya film produksi nasional berhasil ditayangkan secara komersil di Amerika dan beredar luas diberbagai Negara. Film tersebut adalah film The Raid, film yang masih menjadi jawara box office Indonesia sampai bulan Desember tahun 2012 dengan mengumpulkan jumlah penonton 1,8 juta.
Ada sekitar 90 judul film beredar tahun 2012 lalu dan hampir separuh dari jumlah film yang beredar bergenre drama dengan total 40 judul. Kemudian disusul genre Horror dengan jumlah total 15 Judul, Horror/comedy 9 judul, Drama Anak ada 7 Judul, disusul Komedi 6 judul, Omnibus 5 Judul dan Adventure 3 judul. Sementara dari tema Documenter, animasi dan Action masing-masing menyumbang 1 judul.
Yang menarik dari industry film di Indonesia di tahun 2012 adalah semakin adanya keberagaman tema film yang tidak lagi di kuasai oleh horror berbau seks atau comedy yang beberapa tahun lalu sempat menjadi tren. Lihat table untuk jumlah film berdasarkan genrenya.
Adaptasi novel dan buku ke dalam film juga menjadi tren tersendiri, terbukti berhasilmenarik jumlah penonton yang massif diakhir tahun. Film 5cm berhasil mencapai 1,1 juta penonton dalam 10 hari penayangannya danilm Habibie & Ainun menjadi Hits tersendiri dengan meraih 510 ribu penonton dalam 4hari penayangan dan masih akan terus bertambah kedepannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar